Friday 11 August 2017

Kritik Realisme Hukum Forex


Realisme Hukum Pragmatik Realisme Pragmatik Hukum Salah seorang sarjana bernama Friedman membahas aliran dalam ini sebagai salah satu subaliran dari positivisme hukum. Sebab, pangkal pemikiran dari aliran ini bersumber pada arti rasio atau akal sebagai sumber hukum. Pendasar mazhabaliran ini adalah John Chipman, Gray, Oliver Wendell Holmes, Karl Llewellyn, Jerome Frank, William James dan sebagainya. Friedman juga berpendapat bahwa Roscoe Pound juga dapat digolongkan ke dalam pragmatis Hukum Realisme di samping masuk ke dalam fakultas sosiologis. Hal ini disebabkan oleh pendapat atau pandangan Roscoe Pound yang mengatakan bahwa hukum itu adalah alat rekayasa sosial. Sementara itu, Llewellyn berpendapat bahwa Pragmatic Legal Realisme bukan aliran tapi satu gerakan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Realisme adalah suatu aliranmazhab. Realisme adalah suatu gerakan dalam cara berpikir dan cara bekerja tentang hukum. 2) Realisme adalah suatu konsep mengenai hukum yang berubah-ubah dan sebagai alat untuk mencapai tujuan maka tiap bagiannya harus diselidiki mengenai tujuan maupun hasilnya. Hal ini berarti keadaan sosial lebih cepat. 3) Realisme mendasarkan ajarannya atas dasar sementara antara sollen dan sein untuk keperluan suatu hal agar sesuai itu tujuannya, maka hendaknya diperhatikan adanya nilai-nilai dan observasi terhadap nilai-nilai itu seumum mungkin dan tidak boleh dilakukan oleh kehendak pengamat maupun tujuan-tujuan Kesusilaan 4) Realisme telah mendasarkan pada konsep-konsep hukum tradisional oleh karena realisme yang melukiskan apa yang sebenarnya oleh pengadilan-pengadilan dan orang-orangnya. Untuk itu dirumuskan definisi-definisi dalam peraturan-peraturan yang merupakan ramalan umum tentang apa yang akan dikerjakan oelh pengadilan-pengadilan. Sesuai dengan keyakinan ini, maka realisme menciptakan penggolongan-penggolongan perkara dan keadaan-keadaan hukum yang lebih kecil jumlah pecapan penggolongan-penggolongan yang ada pada masa lampau. 5) Gerakan nyataisme pada perkembangan setiap bagian hukum dengan memperhatikan akibatnya. Pendekatan yang harus dilakukan oleh gerakan realisme untuk mewujudkan program tersebut di atas telah digariskan sebagai berikut: 1) keterampilan yang dibutuhkan bagi seseorang dalam memberikan argumentasinya yang logis atas putusan-putusan yang telah diambilnya bukan hanya kalimat argumen-argumen yang diajukan oleh ahli hukum yang tidak Berbobot 2) Mengadakan perbedaan antara peraturan-peraturan dengan memperhatikan relativitas makna peraturan-peraturan tersebut. 3) Menggantikan katagori-katagori hukum yang sedang umum dengan hubungan-hubungan khsusus dari keadaan-keadaan yang nyata. 4) Cara pendekatan seperti itu di atas spasi juga soal faktor-faktorunsur-unsur yang kurang perseornagan dan umum dengan penelitian atas kepribadian sang hakim dengan disertai data-data statistik tentang ramalan-ramalan apa yang akan diperbuat oloeh pengadilan dan lain-lain. Mengenai Aliran Realisme Hukum Amerika Tokoh-tokohnya adalah Oliver Wendell Holmes dan Jerome Frank. 8220Lintasan Law8221 berasal dari Holmes, sedang 8220Law dalam pikiran modern8221 yang berasal dari Jerome Frank. Sifat normatif hukum agak dikesampingkan. Hukum pada hakekatnya adalah pola perilakutindakan (pola tingkah laku) nyata dari hakim dan petugaspejabat hukum (pejabat hukum) lainnya. Pendorong utama perilaku Hakim atau pejabat-pejabat hukum yang berpijak pada moral positif dan kemaslahatan masyarakat (social advanrage). Bagi Frank, hukum dapat dibagi menjadi dua, yaitu hukum yang senyatanya dan hukum yang mungkin (hukum aktual dan hukum yang mungkin). Peraturan-peraturan hukum dan asas-asas hukum tidak lain adalah semacam rangsangan yang bisa dilakukan dalam putusan-putusan hakim, di samping faktor-faktor lain, prasangka politis, ekonomis, dan moril, simpati maupun antipati pribadi ). Terhadap sikap yang agak ekstrim dari kedua tokoh tersebut, yaitu Roscoe Pound dan benjamin Cardozo dalam bukunya yang berjudul 8220 Sifat proses yuridis8221 mengambil bentuk yang lebih moderat, dengan pandangan sosiologis. 2) Aliran Realisme Skandinavia Di Skandinavia, para sarjana hukum modern mengembangkan cara berfikir tentang hukum yang memiliki ciri khas ala Skandinavia yang tidak ada persamaannya di negara-negara lain. Istilah istilah realisme sering digunakan untuk gerakan cara berfikir di Skandinavia akan dengan pola pikir berfikir di Amerika Serikat, sebatas nama saja. Realisme Skandinavia adalah dasar-dasar filsafat yang memberikan kritik-kritik terhadap dasar-dasar metafisika hukum (Skandinavia realisme sangat esensial sebuah kritik filosofis terhadap hukum dasar metafisik). Gerakan ini menolak cara pendekatan yang digunakan oleh kaum realis Amerika Serikat yang memiliki nilai rendah. Dalam cara memberi kritik dan pengupasan prinsip-prinsip pertama yang sangat abstrak, grakan realis memiliki ciri-ciri yang sejenis dengan Filsafat Hukum Eropa. Adanya persamaan cara pendekatan antara penganut-penganut gerakan relaisme Skandinavia yang diusungnya oleh emosi dari Axel Hagestrom terhadap tokoh-tokoh gerakan realisme Skandinavia pada waktu itu, yaitu Oliverscrona, Lundstedt, sekalipun pengaruh Axel tidak ada Ross. Para ahli hukum di atas menolak adanya pengertian-pengertian absolute tentang keadilan yang sedang dan-mana. Apakah nilai-nilai hukum gerakan realisme Skandinaviamempunyai pendirian yang sama dengan filsafat relativisme mereka menolak pendirian yang mengatakan ketentuan-ketentuan tentang hukum dapat disalurkan dari prinsip-prinsip tentang keadilan yang tidak adapat diubah. Menureut Friedman, penemuan realisme Skandinavia telah memberikan kontribusi yang sangat besar kepada teori hukum, yaitu tentang penggunaan pengertian kehendak kolektif, satu kehendak umum atau kehendak negara (suatu kehendak kolektif atau umum atau negara) oleh ilmu hukum analitis. Menurut Hargerstrom dan kawan-kawan, pengertian-pengertian itu adalah pengertian satu pengertian gaib yang dipakai mereka untuk memberi dasar hukum pada kemahakuasaan orang-orang yang suka perintah negara dan cara mereka membuktikan legitimitas (dasar hukum) kekuatan negara tersebut menurut Hargerstrom dan kawan-kawan Adalah pada batasan sama dengan cara-cara yang menggunakan filsafat hukum kodrat. SELAMAT DATANG DI BLOG IRWAN GRAVES TEMPAT SHARING MASALAH HUKUM DAN LAIN-LAIN SYA MENYEDIAKAN BERBAGAI MAKALAH BUAT KAWAN SEMUA SILAHKAN TALUSURI SETIAP POSTING BUAT KAWAN SEMUA JANGAN LUPA TINGGALKAN KOMENTAR DARI ARTIKEL YANG SAYA POSTING A. Latar Belakang Masalah hukum sebagai kaidah sosial, tidak berarti pergaulan antar manusia dalam masyarakat hanya diatur oleh hukum. Selain oleh hukum, kehidupan manusia dalam masyarakat selain dipedomani moral manusia itu sendiri, diatur pula oleh agama, oleh kaidah-kaidah sosial, kesopanan, adat istiadat dan kaidah-kaidah sosial lainnya. Antara hukum dan kaidah-kaidah sosial lainnya, ada hubungan jalin menjalin yang erat, yang satu memperkuat yang lainnya. Adakalanya hukum tidak sesuai atau serasi dengan kaidah-kaidah sosial lainnya. Mengajar ketertiban menemukan gangguan. Pola keteraturan (hukum) akan menemukan sebuah ketidakteraturan. Mungkin inilah istilah yang tepat untuk gambaran hukum di negeri ini memang kacau. Berbagai masalah dalam dunia hukum seperti mafia peradilan, korupsi, kesewenang-wenangan, dan suap menjadi hal yang biasa dalam penegakan hukum di indonesia. Hal yang dimaksud tersebut kita tidak berani keluar dari alur tradisi penegak hukum yang semata-mata bersandarkan pada peraturan perundang-undangan. Paradigma positivisme hukum memang menjadi pegangan setiap ahli hukum (sarjana). Hal ini tentunya tidak dapat dipersalahkan begitu saja sebab paradigma positivisme memang merupakan paradigma pemikiran hukum yang mendominasi. Positivisme lahir dalam sistem hukum eropa kontinental. Bermula dari pemikiran ahli ilmu sosial prancis Henri Saint Simon dan Auguste Comte. Positivisme dalam paradigma hukum agama metafisis yang abstrak. Setiap norma hukum harus diwujudkan ke dalam sebuah norma yang konkrit dan nyata. Hukum dan keadilan adalah dua hal yang tidak dapat dipakai, untuk itu dalam menegakkan keadilan kepastian hukum memiliki peran yang sangat urgen. Didalam aliran positivisme kepastian hukum adalah tujuan utama, sedangkan keadilan dan ketertiban menjadi hal yang dinomor dua kan. Diskursus antara kepastian hukum dan keadilan yang sudah lama mengemuka, dengan aliran positivime tersebut hukumnya-olah terpisah dari keadilan yang ada ditengah masyarakat. Untuk itu diperlukan sebuah revisi baru terhadap hukum yang berlaku ditengah-tengah masyarakat tanpa dihapus kepastian hukum. Aliran Positivisme hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu pelajaran yang tidak ada hukum di luar undang-undang, undang-undang menjadi sumber hukum satu-satunya. Undang-undang dan hukum diidentikkan. Menurut paham positivisme, setiap norma hukum harus eksis dalam alamnya yang obyektif sebagai norma-norma yang positif, dan ditegaskan dalam wujud kesepakatan kontraktual yang konkret antara warga masyarakat atau wakil-wakilnya. Disini hukum bukan lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, pelelangan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian atas apa yang terbilang hukum, dan apa pula yang harus normatif harus diakui sebagai hal-hal yang Bukan terbilang hukum. Menurut Soetandyo Wignjosoebroto aliran positivis itu adalah ilmu hukum sekaligus belajar pengetahuan tentang kehidupan dan perilaku masyarakat (yang semestinya ditibalah norma-norma kausalitas), maka mereka yang menganut aliran ini mencoba menjelaskan kausalitas-kausalitas itu dalam wujudnya sebagai perundang-undangan. Soetandyo memaparkan lebih lanjut apapun ya klaim kaum yuris positivis, mengenai teraplikasinya hukum kausalitas dalam pengupayaan tertib kehidupan bermasyarakat dan bernegara bangsa, namun keyakinan menunjukkan halal dalam kehidupan manusia itu sama kausalitas yang berkeniscayaan tinggi yang bisa diamati dalam realitas-pikiran alam kodrat yang mengkaji 8220prilaku8221 benda-benda anorganik. Hubungan-hubungan kausalitas itu tersimpankan atau dipositifipkan sebagai norma dan tidak pernah dideskripsikan sebagai nomos, norma hanya bisa bertahan atau penuh sebagai kenyataan kausalitas manakala ditunjang oleh kekuatan struktural yang dirumuskan dalam bentuk ancaman-ancaman pemberian sanksi. Terkait dengan kondisi di indonesia maka isinya tidak bisa terlepas dari sejarah dan perkembangan hukum, sehingga dapat mengklarifikasi bila saat ini ada perbedaan cara pandang terhadap hukum di antara kelompok masyarakat indonesia. Berbagai ketidakpuasan atas penegakan hukum dan hukum berbagai macam hukum bersumber dari cara pandang yang tidak sama tentang apayang hukum dan apa yang menjadi sumber hukum. Para aparat penegak hukum terperangkap dalam pola pikir postivisme sehingga menganggap hukum sebatas undang-undang. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang atas maka yang menjadi rumusan menyebar adala sebagai berikut. Bagaimana filosopi pemikiran positivisme hukum Bagaimana kritik terhadap aliran positivisme hukum A. Filosofi Positivisme Hukum Positivisme hukum adalah bagian yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan positivisme (ilmu). Dalam defenisinya yang paling tradisional tentang hakikat hukum, dimaknai sebagai norma-norma positif falam sistem perundang-undangan. Dari segi ontologinya, pemaknaan ini penggabungan antara idealisme dan materialisme. Oleh Bernard Sidharta, penjelasan seperti itu pada teori hukum kehendak (the will theors of law) dari Jhon Austin dan teori hukum murni Hans Kelsen. Bergantung dengan pemikiran hukum kodrat yang sibuk dengan masalah validasi hukum buatan manusia, maka pada positivisme hukum, aktivitasnya unggul diturunkan kepada pertanyaan konkret. Masalah validitas (legitimasi) aturannya, standar peraturan yang dijadikan referensinya adalah norma-norma hukum. Menurut E. Sumaryono, positivisme hukum paling tidak dapat dimaknai sebagai berikut: Aliran pemikiran dalam yurisprudensi yang membahas konsep hukum secara eklusif, dan berakar pada peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku saat ini. Sebuah teori yang menyatakan hukum hanya akan berlaku jika ada norma-norma yang dapat dipaksakan berlakunya dan ditetapkan oleh sebuah instrumen dalam sebuah negara. Menurut Lili Rasyidi, prinsip-prinsip dasar positivime hukum adalah: suatu tata hukum negara yang berlaku bukan karena memiliki dasar dalam kehidupan sosial (menurut Comte dan Spenser), bukan juga karena bersumber pada jiwa bangsa (menurut Savigny), dan juga bukan karena dasar-dasar Hukum alam, pelantikan bentuknya dalam bentuk yang sedang. Hukum harus dilihat semata-mata dari bentuk hukum formal. Hukum hukum. Hukum hukum. Seorang pengikut Positivisme, Hart mengemukakan berbagai artikel dari positivisme tersebut sebagai berikut: hukum adalah perintah analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi sosiologis, sejarah dan penilaian kritis. Keputusan-keputusan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu diperhitungkan tujuan-tujuan sosial, terima dan moralitas. Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan diputuskan oleh pidana pidana rasional, pembuktian atau empirik diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Salah seorang pengikut positivisme Hukum john Austin, seorang ahli hukum Inggris yang terkenal dengan ajaran analitis Yurisprudensi menyatakan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah kekuatan yang tertinggi dalam suatu negara. Sedangkan sumber-sumber lain seperti sumber yang lebih rendah. Sumber hukum itu adalah pembuatnya lansung, yaitu pihak yang berdaulat atau badan perundang-undangan yang tertinggi dalam suatu negara, dan semua hukum dialirkan dari sumber yang sama. Hukum yang bersumber dari situ harus ditaati tanpa syarat, tentu saja jelas tidak adil. Menurut Austin, hukum terlepas dari soal keadilan dan terlepas dari soal baik dan buruk. Karena itu, ilmu hukum tugasnya adaaksi unsur-unsur yang secara nyata ada dalam sistem hukum modern. Ilmu hukum hanya dengan hukum positif, yaitu hukum yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau keburukannya. Hukum adalah perintah dari kuasa politik yang berdaulat dalam suatu negara. Austin juga bangun dari hukum dan hukum tidak berlaku pada nilai yang baik atau buruk, lebih disarkan kepada kuasa dari kekuatan penguasa. Austin membagi hukum menjadi dua bagian, yaitu hukum yang dibuat oleh Tuhan, dan hukum yang dibuat oleh manusia. Maka hukum yang dibuat oleh manusia tersebut dibedakan lagi antara hukum yang sebenarnya dan hukumnya sebenarnya. Hukum yang sebenarnya disusun atas hukum yang dibuat oleh penguasa bagi pengikut-pengikutnya dan hukum yang disusun oleh individu-individu guna mewujudkan hak-hak yang diberikan. Hukum yang sebenarnya terdiri dari empat hal yaitu: perintah, sanksi, hukuman dan kedaulatan. Yang hukumnya yang sebenarnya bukan hukum yang merupakan hukum yang bersifat lansung berasal dari penguasa, peraturan peraturan yang berlaku dari perkumpulan-perkumpulan atau badan-badan tertentu. Menurut Thomas Aquino, hukum positif dinamakan Undang-Undang Manusia (Menschelijke Wet) adalah hukum yang ada dan berlaku. Menurutnya, Undang-undang ini tidak dibangun alam, akan nyasar akal. Undang-undang tersebut harus mengabdi kepentingan umum karena undang-undang adalah suatu peraturan tertentu dari akal yang wajib untuk mengabdi kepentingan umum dan berasal dari satu 8220kekuasaan8221 yang sebagai penguasa tertinggi harus mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Hukum positif aalah sesuatu yang perlu bagi manusia, hukum positif ditaati oleh manusia dengan sukarela dengan jalan dan tidak oleh karena paksaan oleh undang-undang. B. Kritik Terhadap Positivisme Hukum. Hukum pada saat ini dengan alam dan kehidupan sosial yang berkembang, harus selalu berlaku stagnan dan juga harus fleksibel dengan situasi dan kondisi yang dibutuhkan agar selalu dapat diatur dan menciptakan hasil yang berkeadilan. Dengan begitu pekerjaan penafsiran bukan semata-mata membaca peraturan dengan menggunakan logika peraturan, peluk juga membaca apa yang ada di masyarakat. Salah satu penyebab kemandegan yang ada dalam dunia hukum adalah karena masih terjerembab kepada paradigma tunggal positivisme yang sudah tidak fungsional lagi sebagai analisis dan kontrol yang bersejalan dengan tabel hidup sifat manusia yang senyatanya pada konteks dinamis dan multi kepentingan baik pada proses maupun pada lapangan hukumnya. Yaitu hanya dalam artian yang sangat sempit, hanya dimaknai sebatas undang-undang, sedangkan nilai-dalam di luar undang-undang tidak dimaknai sebagai sebuah hukum. Hukum merupakan bagian dari karya cipta manusia yang dimanfaatkan untuk menegakkan martabat manusia. Manusia tidak menghamba kepada abjad dan titik koma yang ada dalam undang-undang sebagai buah perwujudan nalar, undang hukum yang menghamba pada kepentingan manusia untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Hukum tidak hanya produk rasio, gan bagian dari intuisi. Relevan dengan dasar kebangsaan, jadilah konsepsi keadilan yang beradab, seperti sila kedua Pancasila. Aliran Positivisme hukum ini sangat ditentang oleh aliran Sosiologis Yurisprudensi, Sosiologis Yurisprudensi adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang antara lain dipelopori oleh Eugen Ehrlich. Menurutnya, apakah pusat pusat dari pembangunan hukum, tidak berada pada pembuatan undang-undangilmu hukum, dan tidak pula ada pada keputusan-keputusan hakim, pelaut pada masyarakat itu sendiri. Pada urutan norma yang selalu bersumber dari ruang sosial, yang berdasarkan keyakinan akan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Sanksi yang berasal dari penguasa untuk mempertahankan hukum yang esensial, tapi hanya merupakan pelengkap. Sesuai dengan pendapatnya di atas, menurut Eugen Ehrlich, sumber hukum yang terpenting adalah kehendak penguasa, dan kebiasaan. Jadi dalam hal ini Eugen Ehrlich sependirian dengan Von Savigny, dan ia menggunakan istilah yang lebih realistis yaitu tubuh yang hidup dalam masyarakat. Menurut tokoh ilmu hukum realisme F. S.Cohen, ilmu hukum fungsional merumuskan pengertian-pengertian, pertauran-peraturan dan lembaga-lembaga. Hukum dalam istilah-istilah adalah putusan hakim atau tindakan kuasa-kekuatan Negara lainnya dan sebagai bidang ilmu hukum sosiologis (Sosiologis Yurisprudensi) penilaian hukum dalam istilah tingkah laku manusia yang disebabkan oleh hukum. Gerakan realisme dalam ilmu hukum memperlengkapi aliran Sosiologis Idealisme, karena gerakan idealisme pada pandangan, berlakunya dan tugasnya akibat hukum secara alamiah, sementara ahli-ahli pemikiran dan aliran Sosiologis sebagai Pound, Cardozo, Geny, Heck, mengarahkan perhatian pada tujuan hukum Berakhirnya Hukum). Indonesia sebagai negara yang besar dan kaya akan budaya dan adat istiadat yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Disetiap daerah memiliki kehidupan sosial yang berbeda-beda pula sangat pranata norma-norma yang ada. Norma-norma yang ada hukum adat yang masih hidup ditengah-tengah masyarakat. Hal ini telah ada sebelum datangnya Belanda menjajah Indonesia dan menerapkan positivisme dalam dunia hukum. Dengan adanya Unifikasi dan Positivisme hukum menutup ruang gerak bagi hukum adat dan hukum kebiasaan-kebiasaan lainnya yang hidup ditengah masyarakat untuk dapat ditengah-tengah masyarakat, sehingga kearifan lokal hukum hidup terhimpit oleh undang-undang yang dibuat oleh penguasa. Cara melawan hukum dan putusan pengadilan di indonesia sampai hari ini masih ada karena hukum yang terkristal dalam undang-undang dan putusan pengadilan sangat jauh dari nilai keadilan yang berlaku ditengah masyarakat. Perkembangan masyarakat berkembang dengan sangat cepat, sehingga untuk mengimbangi perkembangannya hukum tersebut harus selalu mengikuti perkembangan masyarakat. Hukum yang ada harus bisa menjadi pedoman dan solusi terhadap semua permasalahan yang pada saat itu. Sesuatu dalam aliran positivisme hukum terkunkung dalam sebuah prosedur yang rumit. Sehingga untuk melakukan suatu pembaharuan hukum selalu tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Al hasil hukum yang ada tidak mampu untuk menjawab tantangan-tantangan zaman. Menurut Friedmann, hukum sebagai suatu sistem terdiri dari sub-sub sistem yang saling bergerak yang tidak dapat terpisahkan dan satu hal lainnya. Substansi itu terdiri dari: Substansi Hukum (legal substance), yang memuat isi dari normaaturan hukumnya Struktur Hukum (legal structure), yaitu sarana dan prasarana hukumnya, termasuk sumber daya aparatur hukumnya dan budaya hukum, budaya Perilaku budaya sadar dan taat hukum, baik pemerintah maupun masyarakatnya. Sebab budaya yang baik akan terbentuk penuh semua pihak secara sungguh-sungguh. Untuk semua hal benar-benar merasa memiliki hukum itu. Karena begitu besarnya peran budaya hukum itu, maka ia dapat menutupi kelemahan dari substansi hukum dan struktur hukum. Jadi menurut Friedmann hukum memiliki ruang lingkup yang sangat luas, tidak terbatas pada tekstual hukum perundang undangan. Dalam berfungsinya hukum ditengah masyarakat tidak perlu undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undang undangundang Dari sini kita bisa melihat aliran positivisme berusaha memenjarakan hukum hanya sebatas tekstual. Dalam paradigma postivistik sistem hukum tidak diadakan untuk memberikan keadilan bagi masyarakat, pelacuran praktis melindungi individu (orang). Kemerdekaan individu yang dimaksud adalah kepastian hukum. Paradigma positivistik berpandangan demi kepastian, maka keadilan dan kemanfaatan boleh diabaikan. Pandangan positivistik juga telah mereduksi hukum dalam kesatuan sebagai pranata pengaturan yang kompleks menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistik dan deterministik. Hukum tidak lagi dilihat sebagai pranata manusia, hanya sekedar media media profesi. Akan sebaliknya karena sifatnya yang deterministik, aliran ini memberikan suatu jaminan kepastian hukum yang sangat tinggi. Arti masyarakat dapat hidup dengan suatu pilihan yang jelas dan ketaatan hukum demi tertib masyarakat merupakan suatu syarat dalam positivisme hukum. Aliran positivisme banyak menuai kritik dari para ahli hukum. Tujuan dari positivisme hukum adalah kepastian hukum. Hukum terpisah dari norma-norma yang hidup di dalam masyarakat karena yang ada hukum adalah peraturan yang sah oleh dikeluarkan oleh penguasa. Melambangkan keadilan, antara keadilan menurut hukum dan keadilan menurut masyarakat. Sejatinya hukum dan masyarakat adalah dua hal yang tidak bisa masuk. Hukum harus bersumber dari norma-norma yang hidup dimasyarakat, karena tujuan hukum adalah untuk menciptakan ketertiban dan keadilan ditengah masyarakat. Anthon F. Susanto, Ilmu Hukum Non Sistemik Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia. Genta Publishing, Yogyakarta, 2010 Bapak Kompor, Aliran Positivisme, Perkembangan dan Kritik-Kritiknya. Kutipan dari mrkompor. blogspot yang diakses pada tanggal 9 Mei 2010 Saifur Rohman, Menembus Batas Hukum. Opini Kompas, 22 januari 2010 Faisal, Menerobos Positivisme Hukum. Rangkang Pendidikan, Yogyakarta, 2010 Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum. Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009 Muhammad Siddiq Tgk. Armia, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum. Pradnya Paramita, Jakarta, 2008 Satjipto Raharjo II, Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum Bagian IV. Karunika, Jakarta, 1985 Soetandyo Wignjosobroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya. Elsam amp Huma, Jakarta, 2002 Wongbanyumas, Menuju Hukum Yang Membebaskan (Hukum Progresif, Dikutip dari fatahilla. blogspot yang diakses pada tanggal 7 Mei 2010 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Lembaga Nasional Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjararan Penerbit BinaCipta, Bandung

No comments:

Post a Comment